KKM Ideal Minimal (KKM) adalah standar nilai terendah yang harus dicapai siswa untuk dinyatakan lulus dalam suatu mata pelajaran. Di tingkat SMA, penetapan KKM sering kali menjadi perdebatan sengit. Pertanyaan utamanya adalah: apakah KKM yang ditetapkan sudah mencerminkan KKM Ideal yang menantang namun realistis, atau justru menjadi alat yang menjerat siswa dalam siklus remedial yang berkepanjangan?
Tujuan asli KKM adalah menjadi tolok ukur mutu pendidikan. Sebuah KKM Ideal harus mempertimbangkan tiga aspek utama: daya dukung sekolah (sarana dan prasarana), kompleksitas materi pelajaran, dan kemampuan awal rata-rata siswa. Jika ditetapkan terlalu rendah, KKM bisa merendahkan standar kualitas lulusan. Namun, jika terlalu tinggi tanpa didukung fasilitas memadai, ia menjadi penghalang.
Banyak sekolah, terutama di perkotaan, berupaya menetapkan KKM Ideal di angka 75 atau lebih tinggi untuk mendorong motivasi belajar. Angka yang tinggi ini memicu siswa untuk berusaha lebih keras dan guru untuk berinovasi dalam metode pengajaran. Namun, tantangan muncul di sekolah dengan sumber daya terbatas, di mana KKM yang tinggi justru dapat memicu frustrasi dan putus asa di kalangan siswa.
Dampak negatif KKM yang tidak realistis adalah potensi untuk menciptakan tekanan akademik yang berlebihan. Siswa mungkin merasa terjebak dalam perlombaan nilai, bukan pada proses pemahaman materi. Selain itu, KKM Ideal yang tidak didukung oleh bimbingan yang cukup dapat memaksa guru untuk melonggarkan standar penilaian demi mencapai target kelulusan yang ditetapkan oleh sekolah atau dinas pendidikan.
Penerapan Kurikulum Merdeka saat ini memberikan fleksibilitas kepada guru untuk menentukan KKM (yang kini lebih dikenal sebagai Ketuntasan Tujuan Pembelajaran/KTP) secara lebih adaptif. Pendekatan baru ini mendorong guru untuk berfokus pada progres individual siswa. Dengan demikian, evaluasi ketuntasan menjadi lebih holistik, tidak semata-mata bergantung pada nilai angka di akhir semester.
Untuk mencapai KKM Ideal, sekolah perlu secara berkala mengevaluasi efektivitas KKM yang sudah ada. Diskusi terbuka antara guru mata pelajaran, kepala sekolah, dan perwakilan orang tua dapat membantu menimbang kompleksitas materi dengan kapasitas siswa. KKM harus menjadi target yang memotivasi, bukan hukuman yang menakutkan.
Peran remedial seharusnya dilihat sebagai kesempatan untuk mencapai KKM Ideal melalui intervensi yang personal. Remedial yang efektif adalah yang menawarkan metode pengajaran berbeda dan fokus pada akar masalah belajar siswa, bukan sekadar tes ulang. Ini mengubah remedial dari beban menjadi alat pembelajaran yang adaptif.
Kesimpulannya, kebijakan KKM memiliki dua sisi mata uang. Jika ditetapkan berdasarkan data dan dievaluasi secara fleksibel, ia menjadi standar kualitas yang ideal. Namun, tanpa pertimbangan yang matang terhadap konteks sumber daya sekolah dan kemampuan siswa, KKM berisiko menjadi standar yang justru menjerat dan menghambat proses pendidikan di tingkat SMA.
